Beginilah Ceritanya...
Hikayat Fanie di Tanah Papua
bagian I : Perjalanan dimulai
Aku berangkat dari Bandung pada 9 April 2009, tepat pada saat pemilu berlangsung, dan dijadwalkan akan tiba di Bandara Sentani keesokan harinya, 10 April 2009 (Jumat Agung) sekitar pukul 7 wit.
Rencanaku, begitu tiba di bandara Sentani, Jayapura, aku kan mencari tiket untuk terbang ke Wamena, tempat Maya, teman kuliahku berada. Dia akan menjemputku di Bandara, lalu aku akan menghabiskan 1 minggu di Wamena, lalu pergi ke Jayapura, tempat Mei, teman SMA ku berada. Arus lalu lintas masih sepi saat aku berangkat, bahkan mendapatkan tiket kereta api saat weekend pun mudah.
Ada berita yang mengusik antusiasme diriku yang sedang memulai petualangan, SMS dari Mei yang memberitahu bahwa kondisi sedang GAWAT di Papua. Banyak kerusuhan dengan latar belakang ketidaksetujuan OPM terhadap berlangsungnya Pemilu. Sudah terjadi ancaman bom dan penembakan pada pukul 2 pagi di Abepura.
"Ste, di Abe itu sudah kayak IRAK!" katanya.
Dia menyuruhku membatalkan perjalananku. Maya juga mengirim SMS, telah ada pembunuhan 8 orang pendatang di Wamena. Tapi begitupun, ia juga menambahkan, bila aku berani datang, dia tetap akan menjemputku di bandara Wamena. Aku tidak goyah, tidak ada organisasi separatis yang mampu menyurutkan keinginanku untuk bertualang. Tiket sudah kubeli, dan rasanya sayang sekali kalau uangku hilang melayang karena rasa takut. Lalu, aku tetap melanjutkan perjalanan menuju Bandara.
Sesampainya di Gambir, sekitar pukul 5, aku menelepon orang tuaku, memberitahu aku sudah sampai Jakarta dan sedang menuju bandara. Mereka sudah menonton berita kerusuhan di Papua, namun mereka tetap menyemangatiku untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun berdoa bersama via telepon. Hatiku sudah lega, dan akupun semakin semangat untuk melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 19.30, tiba-tiba mamaku menelepon, dan menyuruhku membatalkan perjalanan. Dia telah menelepon seorang tanteku, kakaknya pamanku yang bertugas sebagai polisi di Papua, dan tanteku itu memberitahunya keadaan sedang MERAH, TEGANG.
Mamaku bahkan berkata, "Biar saja uangnya hilang, ini masalah nyawa. kalau kamu mati, mamapun ikut mati aja."
Bertualang dan bertanggung jawab atas keselamatan diri itu adalah satu hal yang aku sanggupi. Tapi aku tidak sanggup bertanggung jawab atas ketakutan mamaku.
Maka, 2 jam sebelum berangkat, tiba-tiba aku terpaksa mengubah rencana perjalanan. Aku tidak bisa ke Wamena. Tapi, bila aku tinggal di Jayapura, dimana aku akan tinggal? Karena Mei pun mengatakan bahwa ia tidak tinggal di rumahnya dan terpaksa "mengungsi".
Akhirnya aku mendapatkan nomor Donna, juniorku di Psikologi Unpad yang sekarang kuliah di Uncen. Aku menghubunginya, dan ia bersedia menyediakan tempat di rumahnya bagiku, tapi karena kondisi yang cukup gawat apalagi ia juga bertugas untuk kebaktian Jumat Agung, ia tidak dapat menjemputku di Bandara. Kataku tidak apa, tokh ada taksi.
Akhirnya aku memberi tahu mamaku tentang perubahan rencanaku. Ia tetap tidak setuju, tetapi lebih tenang, dan aku pun dibiarkan berangkat.
Di ruang tunggu keberangkatan, aku berkenalan dengan seorang gadis yang juga mau ke Jayapura. Ia mengatakan kondisi masih cukup normal dan dia tidak takut berangkat. Baguslah. Sepertinya keputusanku cukup tepat.
Pukul 1 wita, kami tiba di Bandara Makassar. Aku terpesona dengan desain "rumah kaca"nya, walau desain itu membuatku kesulitan untuk mengecas hp ku yang batrenya sudah senin-kamis.
Sekitar pukul 5.40 wit, aku terbangun dan melihat matahari terbit di atas kepulauan Maluku. Indahnya... Aku pun bersyukur aku memilih untuk berangkat.
Akhirnya, 6.55 wit, aku tiba di Bandara Sentani.
Saat menunggu bagasi, aku bertanya2 kepada gadis yang kutemui di cengkareng, dan bertanya, bagaimana aku bisa pergi ke Kotaraja, daerah tempat Donna tinggal.
Saat itu, gadis itu sedang bersama seorang ibu orang asli Papua, dan ibu itu berkata, "Kamu naik taksi saja. Kalau mau naik taksi biasa, harganya lebih murah. Kalau naik taksi bandara, mungkin bisa nyampe 150 ribu."
"Taksi biasa?"
"Disini, angkot itu namanya taksi..." kata si gadis.
Aku pun tersenyum-senyum.
150 ribu untuk ongkos jalan pertama? OH NO... aku sudah membongkar semua celenganku semasa kuliah untuk petualanganku kali ini.. Kalau ongkos pertama saja sudah sebesar ini, tabunganku akan habis dalam waktu yang sangat sangat cepat.
Sambil menunggu bagasi, kami mengobrol lagi. Ternyata ibu dan si gadis bergereja di tempat yang sama. Selain itu ada juga seorang pendeta orang asli Papua yang sepesawat dengan kami, yang dijadwalkan untuk berkhotbah pada Jumat Agung di gereja mereka.
Telah dikirim mobil untuk menjemput bapak pendeta ini, dan kedua orang wanita itu akan ikut dengan mobil itu.
"Bagaimana kalau kamu ikut dengan kami saja?" ajak ibu itu tiba tiba. "Kami akan melewati Kotaraja, nanti kami drop saja kamu di tempat yang aman, lalu kamu minta jemput teman kamu disitu."
HALELUYA!
asik asik...
"Boleh saja. Terima kasih, bu..."
Dan 10 menit kemudian, aku sudah dalam mobil mereka, menuju Kotaraja. Sesampainya di Kotaraja, Donna sudah menjemputku di depan pom bensin. Mobil mereka pun melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah Donna, aku pun mandi dan berganti pakaian untuk gereja Jumat Agung.
Ah... Aku sudah sampai di Tanah Papua!!!
Bagi sebagian orang, ini hal yang biasa. Tapi bagiku, ini hal yang luar biasa.
Aku merasa, seumur hidupku, aku terlindungi oleh kotak kaca. Aku melihat bahaya dari luar lalu mengomentarinya, tapi aku sendiri belum pernah merasakan bahaya itu. Aku melihat orang-orang yang menderita, dan menangis karenanya, tapi aku sendiri belum pernah bersama mereka merasakan penderitaan itu. Aku bertualang dalam buku-buku yang kubaca, bukan dalam dunia nyata. Aku menghidupi cerita yang berisi peristiwa yang sering kudramatisir, tapi aku sendiri belum mengambil peranku dalam drama kehidupan ini.
Perjalanan ini adalah kesempatanku untuk berkembang dan mendobrak kotak kaca yang aku tinggali selama ini. Merasakan pengalaman berbeda, dan hidup jauh dari lingkungan nyamanku.
Ini bukan suatu perjalanan biasa.
Bagiku ini pencarian jati diri, untuk menguji diriku sendiri, mampukah aku menghidupi kehidupan yang kucita-citakan selama ini, ataukah aku hanya orang kota biasa.
Dimanapun aku berada, Tuhan selalu ada, dan Ia mengambil bagian dalam segala perkara.
Aku tahu aku mengambil keputusan yang tepat untuk pergi, karena aku menyadari Tuhan menyertai dan Ia mempimpin tiap langkahku disini.
Pada waktunya, Ia akan menunjukkan alasan, untuk apa sebenarnya aku datang kesini.
5 comment:
Hmm..
its a long advanture ste..
wish u always be with GOD's Hand.
Ditunggu uupdate ceritanya..
=)
thx udah baca, Nov...
fanieeeeee....buset...kukira kw gawe dsn..jd pgn k papua,,kira2 mentalku cukup kuat ga yah buat kesana???
tell me more ur stories yah...ampe kpn dsn?ataw jgn2 uda plg kw k bdg?
faniee...ini nana....
Na.. Aq da di Bandung lagi nih..
Well, kw belum tau sebelum kw coba kan.. Datang aja ke sana. Ga perlu kuatir, makanan di desa tempat si Yesi enak2 dan gratis. Ha3.
Kw ambil spesifikasi hukum apa? Siapa tau jasamu bisa dipake si Mei utk advokasi masalah hukum anak2 di sana..
Post a Comment