Hikayat Fanie di Tanah Papua
Bagian 2 : Paskah dan Hari-hari di Jayapura/Kotaraja
PASKAH
Salah satu yang membuatku tertarik untuk datang ke Papua adalah iklannya Maya,
"Fan.. paskah disini seru kali lho... Ada jalan obor nya gitu... Keliling2 desa bawa obor pagi2 buta.."
Aku selalu tertarik mengenal kebudayaan2 yang berbeda. Aku belum pernah tinggal di daerah yang penduduknya mayoritas Kristen, sehingga hari2 besar seperti Natal dan Paskah dirayakan biasa-biasa saja, tidak heboh seperti cerita Maya tentang Papua.
Di Gerejaku di Medan (GMII), Paskah dirayakan mulai jam 5 pagi di hari minggu dalam kebaktian di lapangan gereja, mengelilingi api unggun. Itupun tidak begitu banyak jemaat yang datang, banyak yang memilih mengikuti kebaktian jam 9 paginya. Untuk sekolah minggu, selalu ada lomba cerdas cermat Alkitab (yang sering sekali kumenangkan, tentunya... sifat kompetitifku lebih parah waktu aku kecil).
Paskah di Bandung (GII), jadinya kurang menarik dibandingkan di kampung halaman. Berdosakah aku bila kukatakan kalau selama aku merayakan Paskah di Bandung, satu2nya hal yang lebih menarik dari perayaan Paskah di gerejaku di Medan adalah anggur yang dihidangkan pada perjamuan kudus (gerejaku di Medan tidak memakai anggur beneran). Sayangnya, slokinya terlalu kecil.
Yah yah yah... tentu saja, Paskah bukanlah mengenai perayaannya menarik atau tidak, berapa banyak telur yang berhasil dikumpulkan, atau berapa hadiah yang berhasil di dapat dari lomba2nya.. Paskah adalah mengenai Kristus yang telah menebus dosa manusia, juga mengalahkan maut (yang merupakan upah dosa), sebagai tanda ke-Ilahian-Nya.
Tapi, sebagai manusia biasa... tentunya aku menginginkan variasi...
Di Papua, aku bergereja di GPI jemaat Elim di Abepura, gerejanya Donna. Ayahnya Donna adalah salah satu majelis, dan Donna sendiri adalah salah satu pengurus pemuda gereja. Di gereja itu juga ada Pacarnya Donna, Kak Thosa, mahasiswa Theologia tingkat akhir (OH MY.. Donna calon istri pendeta bowww...).
Kebaktian Jumat Agung diadakan dua kali, pagi dan malam. Kebaktian malam ini merupakan kebaktian perjamuan kudus. Pengumuman di kebaktian pagi mengatakan bahwa perjamuan kudus kali ini akan memakai cawan.
Maksudnya?
"Kakak liat aja deh nanti.. " kata Donna, "kalo perjamuan kudus yang pake cawan, perjamuannya lebih kerasa.."
Aku membayangkan lukisan The Last Supper karya Leonardo Da Vinci( yang sering dijadiin sulaman kristik itu lho), dan membayangkan wajahku di wajah salah satu murid.... Hmmm... Ga cocok..
Lalu, sore pun tiba, kami pergi ke gereja. Sesampainya disana, aku tertegun melihat 5 meja bertaplak putih, diatur sehingga membentuk salib, dengan kepala salib terletak dekat mimbar. Sekitar 30-40an kursi diatur mengelilingi meja tersebut.
Kebaktian dimulai, lalu tibalah saat perjamuan kudus. Pendeta yang memimpin berdiri di kepala salib, dan memanggil jemaat untuk duduk di meja perjamuan secara bergiliran, mengisi seluruh kursi. Barisanku mendapat giliran kedua.
Lalu, terdapat 4 cawan besi yang diisi penuh anggur oleh pendeta. Lalu roti dibagikan. Lalu pendeta memberi tanda untuk membagikan anggur. Dua orang majelis yang duduk mengapit pendeta minum dari dua gelas cawan yang berbeda, lalu mereka menggilirkan cawan tersebut ke kursi di sebelahnya, demikian hingga di tengah badan salib, lalu dua orang majelis lain mengambil cawan tersebut dan memberikan cawan baru yang masih penuh kepada jemaat yang duduk di tengah badan salib, lalu cawan baru itu akan digilir hingga pada jemaat kaki salib.
Tibalah giliranku.
Roti yang dipakai adalah roti beragi, bukan hosti, seperti yang biasa dipakai di GII.
Aku sebenarnya rada geli harus berbagi cawan dengan jemaat sebelumku, walaupun cawan-cawan itu sudah dilap dengan tisu tiap kali suatu giliran berakhir. Tapi aku memberanikan diri demi pengalaman baru.
Cawan itu pun sampai di hadapanku. Aku mengangkat cawannya. Berat. Bukan saja karena cawan tersebut terbuat dari besi, tapi juga karena anggur perjamuan ini benar benar red wine yang masa jenisnya lebih besar dari air.
Lalu aku meminumnya.
I got a kick from it!
Anggurnya lebih keras daripada yang digunakan GII. Karena terkejut, aku cuma minum seteguk. Opa yang duduk di sampingku minum dua teguk (rada menyesal sih aku, cuma minum seteguk aja).
Badanku pun terasa hangat walaupun cuma minum seteguk.
Oh.. ini tokh rasa wine beneran..
Untung ini bukan gerejaku. Kalau ini gerejaku, seusai kebaktian, aku pasti langsung ke belakang, ngecek sisa anggur untuk diminum.. hahaha...
Hari-hari di Kotaraja
Setelah Paskah, aku menghabiskan seminggu penuh di Kotaraja. Mayoritas acaraku adalah kebaktian!
Hari Senin ada Paskah kedua (Aku baru tau kalau paskah kedua beneran ada, aku pikir Paskah kedua itu hari libur yang diciptakan PA Bukit Sion SMUNSA Medan, supaya siswa Kristen bisa cepat pulang di hari senin setelah paskah).
Hari selasa, ada kebaktian keluarga.
Hari Rabu, ada kebaktian kaum pria yang diadakan di rumah Donna.
Hari Kamis.... hmm.. kayaknya ini kebaktian anak-anak, tapi karena di rumah Donna tidak ada anak-anak, jadi di hari ini kebaktiannya libur.
Hari Jumat, ada kebaktian pemuda.
Bila tidak kebaktian, aku membaca seharian.
Donna menawarkanku beberapa buku novel tebal karangan Frank E. Peretti, dan Evelen Minutes nya Paulo Coelho.
Aku kenal Paulo Coelho, pengarang favoritnya Gardin (teman kuliahku yang juga ketua angkatan Psy'03), tapi aku ragu dengan nama Frank E. Peretti. Aku jarang membaca karya pengarang yang tidak kukenal, kecuali novelnya fiksi fantasi. Tapi kuterima semua buku yang ditawarkan Donna untuk mengisi waktu.
Buku pertama yang kubaca adalah Prophet, Frank E. Peretti.
Buku ini bercerita tentang seorang pembaca berita dari TV nasional yang sukses, dimana ia telah membawa News6, acaranya, mendapatkan rating tertinggi terus menerus selama 5 tahun. Ia memiliki seorang ayah yang "Nabi". Ayahnya mendapatkan "prophecy", penglihatan mengenai apa yang terjadi, dan ia terpanggil untuk memberitakan kebenaran tersebut. Sayangnya, suatu insiden membuat ayahnya terjebak dalam suatu konspirasi politik, antara Gubernur pro-choice yang sedang re-campaign dan klinik aborsi. Akhirnya ayahnya meninggal, dan sang pembaca berita pun menyadari bahwa ia terpilih untuk meneruskan jejak ayahnya.
Novel ini menyindir budaya pop, dan demokrasi Amerika Serikat. Dimana masalah-masalah moral dianggap abu-abu. Tidak ada lagi yang disebut benar dan salah, dan bila ada yang menyuarakan moralitas, maka orang itu dianggap "tidak berjiwa Amerika", "menentang kebebasan" dan "Sok suci".
Novel ini juga bercerita mengenai integritas dalam bekerja dan panggilan Tuhan. Kadang Tuhan memanggil orang yang tidak pernah menduganya, tapi ternyata bila orang tersebut memikirkan perjalanan hidupnya, ia akan sadar bahwa selama ini Tuhan telah mempersiapkannya sedemikian rupa, dan bahwa ia memang didesain untuk pekerjaan Tuhan yang dipercayakan padanya tersebut.
Novel Peretti pertama yang kubaca begitu memukau dalam penceritaan. Alurnya menarik dan cukup rumit, sehingga membutuhkan konsentrasi dalam membaca. I love the Author!
Maka, novel kedua yang kubaca berasal dari pengarang yang sama, Piercing The Darkness, Frank E. Peretti.
Ketika aku memulai membacanya, aku sempat bingung dan berhenti pada bab pertama. Aku tidak mengerti. Ada iblis dan malaikat, lalu luapan tokoh-tokoh manusia.
Akhirnya aku membaca ulang bab I, mencoba lebih sabar dan tidak membaca cepat.
Novel ini bercerita mengenai peperangan rohani. Pembaca berada pada sudut pandang orang ketiga, dan seakan diberi penglihatan khusus, melihat roh-roh jahat yang menguasai suatu wilayah, dan juga Malaikat yang Tuhan tugaskan untuk mendampingi orang percaya dan orang yang Tuhan pilih.
Konsentrasi sudah dibutuhkan pada bab-bab pertama, terutama disebabkan oleh banyaknya tokoh yang seakan tidak berhubungan. Namun pada akhirnya kebenaran terkuak, dan kita melihat benang merah yang menghubungkan keseluruh tokoh, benang merah yang bernama Rencana Tuhan.
Novel ini juga menyinggung budaya Amerika yang dipengaruhi paham-paham humanistik post modernisme. Membaca novel ini aku seakan diingatkan lagi pada kuliah filsafat humanistik dan praktek2 yang diajarkan kuliah Analisis Eksistensial... oh ya.. dan talkshow Oprah.
Bahkan beberapa dialog dari novel ini merupakan kutipan dari Nietzche, Kierkegaard, Sartre dan eksistensialis lain.
Sumber kecemasan tokoh utamanya, Sally, berasal dari "kebebasan eksistensial" yang (pernah) dirasakannya, setelah kebebasan tanpa batas itu, ia digambarkan hidup tanpa arah dan penyesalan.
Mungkin ini counter-attack dari pandangan kristen terhadap eksistensialisme.
Ceritanya terjalin apik dan sangat menarik, walaupun rumit. Aku sendiri merasa dibangunkan oleh novel ini, terutama mengenai kuasa Doa. Buku ini menjadi buku fiksi rohani pertama yang kuberi * * * * *.
Recommended, terutama buat teman-teman yang "tergoda" filsafat eksistensialisme. Baca counter-attack nya juga lah ya..
Buku ketiga yang kubaca adalah Eleven Minutes, Paulo Coelho.
Buku ini bercerita tentang Maria, pelacur asal Brazil yang "buka usaha" di Swiss. Ia merumuskan sebuah teori, bahwa hidup manusia itu, dalam 24 jam, inti sebenarnya hanyalah selama "11 menit". Seperti biasanya, Coelho menceritakan secara detil apa yang ada dalam pikiran tokoh utamanya. Walaupun penceritaannya seperti sudut pandang orang ketiga, pembaca seakan juga menjadi Maria.
Karena sebelumnya aku baca buku fiksi yang menegangkan, membosankan rasanya membaca Eleven Minutes ini. Tidak ada aksi yang membuatku menahan nafas. Bahkan pendekatan Maria yang cenderung pesimis mengenai cinta -- optimis mengenai kehidupan (yang ga jauh beda dari pendekatanku sendiri), kurang menarik bagiku.
Jadi aku berhenti membaca setelah menghabiskan 3/4 bukunya... tepat sebelum adegan ranjang. hahahahhaa...
Seminggu di Kotaraja, aku tidak kemana-mana secara fisik. Tapi aku menjelajah jauh hingga ke Swiss melalui bacaanku.
Banyak orang yang menyayangkan, "kok ga ke sini? Kok ga ke situ? ya ampuun... kenapa ga ke tempat ini.. tempatnya keren banget lhooo!!" (orang2 yang ngomong gini, sebaiknya sadar sendiri yaa)
Sebenarnya aku juga menyayangkan aku tidak banyak jalan jalan di seminggu yang panjang itu, terutama karena keadaan di yang belum aman dan penuh ancaman. Udah jauh-jauh ngabis2in tabungan 5 tahun ke Papua/Jayapura, kok ga pergi ke sana-sini.
Tapi, tidak ada yang perlu disesali. At least, aku bisa membaca buku2 yang sangat menarik, yang normalnya tidak akan kulirik karena bukan Fiksi Fantasi atau cerita Detektif. Aku mendapatkan banyak berkat, terutama dari Novel Piercing The Darkness (selama seminggu hari setelah baca, aku heboh mengiklankan novel ini ke teman-teman).
Yah.. bagiku tidak ada perjalanan yang baik tanpa dinikmati, dan aku sangat menikmati perjalananku dalam bacaan-bacaanku. Hmm... moga2 aku ga tambah diejek "anak autis" karena apa yang kubilang barusan.
ShareThis
Friday, May 01, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)