ShareThis
Friday, May 01, 2009
The Papua Adventure II
Bagian 2 : Paskah dan Hari-hari di Jayapura/Kotaraja
PASKAH
Salah satu yang membuatku tertarik untuk datang ke Papua adalah iklannya Maya,
"Fan.. paskah disini seru kali lho... Ada jalan obor nya gitu... Keliling2 desa bawa obor pagi2 buta.."
Aku selalu tertarik mengenal kebudayaan2 yang berbeda. Aku belum pernah tinggal di daerah yang penduduknya mayoritas Kristen, sehingga hari2 besar seperti Natal dan Paskah dirayakan biasa-biasa saja, tidak heboh seperti cerita Maya tentang Papua.
Di Gerejaku di Medan (GMII), Paskah dirayakan mulai jam 5 pagi di hari minggu dalam kebaktian di lapangan gereja, mengelilingi api unggun. Itupun tidak begitu banyak jemaat yang datang, banyak yang memilih mengikuti kebaktian jam 9 paginya. Untuk sekolah minggu, selalu ada lomba cerdas cermat Alkitab (yang sering sekali kumenangkan, tentunya... sifat kompetitifku lebih parah waktu aku kecil).
Paskah di Bandung (GII), jadinya kurang menarik dibandingkan di kampung halaman. Berdosakah aku bila kukatakan kalau selama aku merayakan Paskah di Bandung, satu2nya hal yang lebih menarik dari perayaan Paskah di gerejaku di Medan adalah anggur yang dihidangkan pada perjamuan kudus (gerejaku di Medan tidak memakai anggur beneran). Sayangnya, slokinya terlalu kecil.
Yah yah yah... tentu saja, Paskah bukanlah mengenai perayaannya menarik atau tidak, berapa banyak telur yang berhasil dikumpulkan, atau berapa hadiah yang berhasil di dapat dari lomba2nya.. Paskah adalah mengenai Kristus yang telah menebus dosa manusia, juga mengalahkan maut (yang merupakan upah dosa), sebagai tanda ke-Ilahian-Nya.
Tapi, sebagai manusia biasa... tentunya aku menginginkan variasi...
Di Papua, aku bergereja di GPI jemaat Elim di Abepura, gerejanya Donna. Ayahnya Donna adalah salah satu majelis, dan Donna sendiri adalah salah satu pengurus pemuda gereja. Di gereja itu juga ada Pacarnya Donna, Kak Thosa, mahasiswa Theologia tingkat akhir (OH MY.. Donna calon istri pendeta bowww...).
Kebaktian Jumat Agung diadakan dua kali, pagi dan malam. Kebaktian malam ini merupakan kebaktian perjamuan kudus. Pengumuman di kebaktian pagi mengatakan bahwa perjamuan kudus kali ini akan memakai cawan.
Maksudnya?
"Kakak liat aja deh nanti.. " kata Donna, "kalo perjamuan kudus yang pake cawan, perjamuannya lebih kerasa.."
Aku membayangkan lukisan The Last Supper karya Leonardo Da Vinci( yang sering dijadiin sulaman kristik itu lho), dan membayangkan wajahku di wajah salah satu murid.... Hmmm... Ga cocok..
Lalu, sore pun tiba, kami pergi ke gereja. Sesampainya disana, aku tertegun melihat 5 meja bertaplak putih, diatur sehingga membentuk salib, dengan kepala salib terletak dekat mimbar. Sekitar 30-40an kursi diatur mengelilingi meja tersebut.
Kebaktian dimulai, lalu tibalah saat perjamuan kudus. Pendeta yang memimpin berdiri di kepala salib, dan memanggil jemaat untuk duduk di meja perjamuan secara bergiliran, mengisi seluruh kursi. Barisanku mendapat giliran kedua.
Lalu, terdapat 4 cawan besi yang diisi penuh anggur oleh pendeta. Lalu roti dibagikan. Lalu pendeta memberi tanda untuk membagikan anggur. Dua orang majelis yang duduk mengapit pendeta minum dari dua gelas cawan yang berbeda, lalu mereka menggilirkan cawan tersebut ke kursi di sebelahnya, demikian hingga di tengah badan salib, lalu dua orang majelis lain mengambil cawan tersebut dan memberikan cawan baru yang masih penuh kepada jemaat yang duduk di tengah badan salib, lalu cawan baru itu akan digilir hingga pada jemaat kaki salib.
Tibalah giliranku.
Roti yang dipakai adalah roti beragi, bukan hosti, seperti yang biasa dipakai di GII.
Aku sebenarnya rada geli harus berbagi cawan dengan jemaat sebelumku, walaupun cawan-cawan itu sudah dilap dengan tisu tiap kali suatu giliran berakhir. Tapi aku memberanikan diri demi pengalaman baru.
Cawan itu pun sampai di hadapanku. Aku mengangkat cawannya. Berat. Bukan saja karena cawan tersebut terbuat dari besi, tapi juga karena anggur perjamuan ini benar benar red wine yang masa jenisnya lebih besar dari air.
Lalu aku meminumnya.
I got a kick from it!
Anggurnya lebih keras daripada yang digunakan GII. Karena terkejut, aku cuma minum seteguk. Opa yang duduk di sampingku minum dua teguk (rada menyesal sih aku, cuma minum seteguk aja).
Badanku pun terasa hangat walaupun cuma minum seteguk.
Oh.. ini tokh rasa wine beneran..
Untung ini bukan gerejaku. Kalau ini gerejaku, seusai kebaktian, aku pasti langsung ke belakang, ngecek sisa anggur untuk diminum.. hahaha...
Hari-hari di Kotaraja
Setelah Paskah, aku menghabiskan seminggu penuh di Kotaraja. Mayoritas acaraku adalah kebaktian!
Hari Senin ada Paskah kedua (Aku baru tau kalau paskah kedua beneran ada, aku pikir Paskah kedua itu hari libur yang diciptakan PA Bukit Sion SMUNSA Medan, supaya siswa Kristen bisa cepat pulang di hari senin setelah paskah).
Hari selasa, ada kebaktian keluarga.
Hari Rabu, ada kebaktian kaum pria yang diadakan di rumah Donna.
Hari Kamis.... hmm.. kayaknya ini kebaktian anak-anak, tapi karena di rumah Donna tidak ada anak-anak, jadi di hari ini kebaktiannya libur.
Hari Jumat, ada kebaktian pemuda.
Bila tidak kebaktian, aku membaca seharian.
Donna menawarkanku beberapa buku novel tebal karangan Frank E. Peretti, dan Evelen Minutes nya Paulo Coelho.
Aku kenal Paulo Coelho, pengarang favoritnya Gardin (teman kuliahku yang juga ketua angkatan Psy'03), tapi aku ragu dengan nama Frank E. Peretti. Aku jarang membaca karya pengarang yang tidak kukenal, kecuali novelnya fiksi fantasi. Tapi kuterima semua buku yang ditawarkan Donna untuk mengisi waktu.
Buku pertama yang kubaca adalah Prophet, Frank E. Peretti.
Buku ini bercerita tentang seorang pembaca berita dari TV nasional yang sukses, dimana ia telah membawa News6, acaranya, mendapatkan rating tertinggi terus menerus selama 5 tahun. Ia memiliki seorang ayah yang "Nabi". Ayahnya mendapatkan "prophecy", penglihatan mengenai apa yang terjadi, dan ia terpanggil untuk memberitakan kebenaran tersebut. Sayangnya, suatu insiden membuat ayahnya terjebak dalam suatu konspirasi politik, antara Gubernur pro-choice yang sedang re-campaign dan klinik aborsi. Akhirnya ayahnya meninggal, dan sang pembaca berita pun menyadari bahwa ia terpilih untuk meneruskan jejak ayahnya.
Novel ini menyindir budaya pop, dan demokrasi Amerika Serikat. Dimana masalah-masalah moral dianggap abu-abu. Tidak ada lagi yang disebut benar dan salah, dan bila ada yang menyuarakan moralitas, maka orang itu dianggap "tidak berjiwa Amerika", "menentang kebebasan" dan "Sok suci".
Novel ini juga bercerita mengenai integritas dalam bekerja dan panggilan Tuhan. Kadang Tuhan memanggil orang yang tidak pernah menduganya, tapi ternyata bila orang tersebut memikirkan perjalanan hidupnya, ia akan sadar bahwa selama ini Tuhan telah mempersiapkannya sedemikian rupa, dan bahwa ia memang didesain untuk pekerjaan Tuhan yang dipercayakan padanya tersebut.
Novel Peretti pertama yang kubaca begitu memukau dalam penceritaan. Alurnya menarik dan cukup rumit, sehingga membutuhkan konsentrasi dalam membaca. I love the Author!
Maka, novel kedua yang kubaca berasal dari pengarang yang sama, Piercing The Darkness, Frank E. Peretti.
Ketika aku memulai membacanya, aku sempat bingung dan berhenti pada bab pertama. Aku tidak mengerti. Ada iblis dan malaikat, lalu luapan tokoh-tokoh manusia.
Akhirnya aku membaca ulang bab I, mencoba lebih sabar dan tidak membaca cepat.
Novel ini bercerita mengenai peperangan rohani. Pembaca berada pada sudut pandang orang ketiga, dan seakan diberi penglihatan khusus, melihat roh-roh jahat yang menguasai suatu wilayah, dan juga Malaikat yang Tuhan tugaskan untuk mendampingi orang percaya dan orang yang Tuhan pilih.
Konsentrasi sudah dibutuhkan pada bab-bab pertama, terutama disebabkan oleh banyaknya tokoh yang seakan tidak berhubungan. Namun pada akhirnya kebenaran terkuak, dan kita melihat benang merah yang menghubungkan keseluruh tokoh, benang merah yang bernama Rencana Tuhan.
Novel ini juga menyinggung budaya Amerika yang dipengaruhi paham-paham humanistik post modernisme. Membaca novel ini aku seakan diingatkan lagi pada kuliah filsafat humanistik dan praktek2 yang diajarkan kuliah Analisis Eksistensial... oh ya.. dan talkshow Oprah.
Bahkan beberapa dialog dari novel ini merupakan kutipan dari Nietzche, Kierkegaard, Sartre dan eksistensialis lain.
Sumber kecemasan tokoh utamanya, Sally, berasal dari "kebebasan eksistensial" yang (pernah) dirasakannya, setelah kebebasan tanpa batas itu, ia digambarkan hidup tanpa arah dan penyesalan.
Mungkin ini counter-attack dari pandangan kristen terhadap eksistensialisme.
Ceritanya terjalin apik dan sangat menarik, walaupun rumit. Aku sendiri merasa dibangunkan oleh novel ini, terutama mengenai kuasa Doa. Buku ini menjadi buku fiksi rohani pertama yang kuberi * * * * *.
Recommended, terutama buat teman-teman yang "tergoda" filsafat eksistensialisme. Baca counter-attack nya juga lah ya..
Buku ketiga yang kubaca adalah Eleven Minutes, Paulo Coelho.
Buku ini bercerita tentang Maria, pelacur asal Brazil yang "buka usaha" di Swiss. Ia merumuskan sebuah teori, bahwa hidup manusia itu, dalam 24 jam, inti sebenarnya hanyalah selama "11 menit". Seperti biasanya, Coelho menceritakan secara detil apa yang ada dalam pikiran tokoh utamanya. Walaupun penceritaannya seperti sudut pandang orang ketiga, pembaca seakan juga menjadi Maria.
Karena sebelumnya aku baca buku fiksi yang menegangkan, membosankan rasanya membaca Eleven Minutes ini. Tidak ada aksi yang membuatku menahan nafas. Bahkan pendekatan Maria yang cenderung pesimis mengenai cinta -- optimis mengenai kehidupan (yang ga jauh beda dari pendekatanku sendiri), kurang menarik bagiku.
Jadi aku berhenti membaca setelah menghabiskan 3/4 bukunya... tepat sebelum adegan ranjang. hahahahhaa...
Seminggu di Kotaraja, aku tidak kemana-mana secara fisik. Tapi aku menjelajah jauh hingga ke Swiss melalui bacaanku.
Banyak orang yang menyayangkan, "kok ga ke sini? Kok ga ke situ? ya ampuun... kenapa ga ke tempat ini.. tempatnya keren banget lhooo!!" (orang2 yang ngomong gini, sebaiknya sadar sendiri yaa)
Sebenarnya aku juga menyayangkan aku tidak banyak jalan jalan di seminggu yang panjang itu, terutama karena keadaan di yang belum aman dan penuh ancaman. Udah jauh-jauh ngabis2in tabungan 5 tahun ke Papua/Jayapura, kok ga pergi ke sana-sini.
Tapi, tidak ada yang perlu disesali. At least, aku bisa membaca buku2 yang sangat menarik, yang normalnya tidak akan kulirik karena bukan Fiksi Fantasi atau cerita Detektif. Aku mendapatkan banyak berkat, terutama dari Novel Piercing The Darkness (selama seminggu hari setelah baca, aku heboh mengiklankan novel ini ke teman-teman).
Yah.. bagiku tidak ada perjalanan yang baik tanpa dinikmati, dan aku sangat menikmati perjalananku dalam bacaan-bacaanku. Hmm... moga2 aku ga tambah diejek "anak autis" karena apa yang kubilang barusan.
Tuesday, April 21, 2009
The Papua Adventure
Beginilah Ceritanya...
Hikayat Fanie di Tanah Papua
bagian I : Perjalanan dimulai
Aku berangkat dari Bandung pada 9 April 2009, tepat pada saat pemilu berlangsung, dan dijadwalkan akan tiba di Bandara Sentani keesokan harinya, 10 April 2009 (Jumat Agung) sekitar pukul 7 wit.
Rencanaku, begitu tiba di bandara Sentani, Jayapura, aku kan mencari tiket untuk terbang ke Wamena, tempat Maya, teman kuliahku berada. Dia akan menjemputku di Bandara, lalu aku akan menghabiskan 1 minggu di Wamena, lalu pergi ke Jayapura, tempat Mei, teman SMA ku berada. Arus lalu lintas masih sepi saat aku berangkat, bahkan mendapatkan tiket kereta api saat weekend pun mudah.
Ada berita yang mengusik antusiasme diriku yang sedang memulai petualangan, SMS dari Mei yang memberitahu bahwa kondisi sedang GAWAT di Papua. Banyak kerusuhan dengan latar belakang ketidaksetujuan OPM terhadap berlangsungnya Pemilu. Sudah terjadi ancaman bom dan penembakan pada pukul 2 pagi di Abepura.
"Ste, di Abe itu sudah kayak IRAK!" katanya.
Dia menyuruhku membatalkan perjalananku. Maya juga mengirim SMS, telah ada pembunuhan 8 orang pendatang di Wamena. Tapi begitupun, ia juga menambahkan, bila aku berani datang, dia tetap akan menjemputku di bandara Wamena. Aku tidak goyah, tidak ada organisasi separatis yang mampu menyurutkan keinginanku untuk bertualang. Tiket sudah kubeli, dan rasanya sayang sekali kalau uangku hilang melayang karena rasa takut. Lalu, aku tetap melanjutkan perjalanan menuju Bandara.
Sesampainya di Gambir, sekitar pukul 5, aku menelepon orang tuaku, memberitahu aku sudah sampai Jakarta dan sedang menuju bandara. Mereka sudah menonton berita kerusuhan di Papua, namun mereka tetap menyemangatiku untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun berdoa bersama via telepon. Hatiku sudah lega, dan akupun semakin semangat untuk melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 19.30, tiba-tiba mamaku menelepon, dan menyuruhku membatalkan perjalanan. Dia telah menelepon seorang tanteku, kakaknya pamanku yang bertugas sebagai polisi di Papua, dan tanteku itu memberitahunya keadaan sedang MERAH, TEGANG.
Mamaku bahkan berkata, "Biar saja uangnya hilang, ini masalah nyawa. kalau kamu mati, mamapun ikut mati aja."
Bertualang dan bertanggung jawab atas keselamatan diri itu adalah satu hal yang aku sanggupi. Tapi aku tidak sanggup bertanggung jawab atas ketakutan mamaku.
Maka, 2 jam sebelum berangkat, tiba-tiba aku terpaksa mengubah rencana perjalanan. Aku tidak bisa ke Wamena. Tapi, bila aku tinggal di Jayapura, dimana aku akan tinggal? Karena Mei pun mengatakan bahwa ia tidak tinggal di rumahnya dan terpaksa "mengungsi".
Akhirnya aku mendapatkan nomor Donna, juniorku di Psikologi Unpad yang sekarang kuliah di Uncen. Aku menghubunginya, dan ia bersedia menyediakan tempat di rumahnya bagiku, tapi karena kondisi yang cukup gawat apalagi ia juga bertugas untuk kebaktian Jumat Agung, ia tidak dapat menjemputku di Bandara. Kataku tidak apa, tokh ada taksi.
Akhirnya aku memberi tahu mamaku tentang perubahan rencanaku. Ia tetap tidak setuju, tetapi lebih tenang, dan aku pun dibiarkan berangkat.
Di ruang tunggu keberangkatan, aku berkenalan dengan seorang gadis yang juga mau ke Jayapura. Ia mengatakan kondisi masih cukup normal dan dia tidak takut berangkat. Baguslah. Sepertinya keputusanku cukup tepat.
Pukul 1 wita, kami tiba di Bandara Makassar. Aku terpesona dengan desain "rumah kaca"nya, walau desain itu membuatku kesulitan untuk mengecas hp ku yang batrenya sudah senin-kamis.
Sekitar pukul 5.40 wit, aku terbangun dan melihat matahari terbit di atas kepulauan Maluku. Indahnya... Aku pun bersyukur aku memilih untuk berangkat.
Akhirnya, 6.55 wit, aku tiba di Bandara Sentani.
Saat menunggu bagasi, aku bertanya2 kepada gadis yang kutemui di cengkareng, dan bertanya, bagaimana aku bisa pergi ke Kotaraja, daerah tempat Donna tinggal.
Saat itu, gadis itu sedang bersama seorang ibu orang asli Papua, dan ibu itu berkata, "Kamu naik taksi saja. Kalau mau naik taksi biasa, harganya lebih murah. Kalau naik taksi bandara, mungkin bisa nyampe 150 ribu."
"Taksi biasa?"
"Disini, angkot itu namanya taksi..." kata si gadis.
Aku pun tersenyum-senyum.
150 ribu untuk ongkos jalan pertama? OH NO... aku sudah membongkar semua celenganku semasa kuliah untuk petualanganku kali ini.. Kalau ongkos pertama saja sudah sebesar ini, tabunganku akan habis dalam waktu yang sangat sangat cepat.
Sambil menunggu bagasi, kami mengobrol lagi. Ternyata ibu dan si gadis bergereja di tempat yang sama. Selain itu ada juga seorang pendeta orang asli Papua yang sepesawat dengan kami, yang dijadwalkan untuk berkhotbah pada Jumat Agung di gereja mereka.
Telah dikirim mobil untuk menjemput bapak pendeta ini, dan kedua orang wanita itu akan ikut dengan mobil itu.
"Bagaimana kalau kamu ikut dengan kami saja?" ajak ibu itu tiba tiba. "Kami akan melewati Kotaraja, nanti kami drop saja kamu di tempat yang aman, lalu kamu minta jemput teman kamu disitu."
HALELUYA!
asik asik...
"Boleh saja. Terima kasih, bu..."
Dan 10 menit kemudian, aku sudah dalam mobil mereka, menuju Kotaraja. Sesampainya di Kotaraja, Donna sudah menjemputku di depan pom bensin. Mobil mereka pun melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah Donna, aku pun mandi dan berganti pakaian untuk gereja Jumat Agung.
Ah... Aku sudah sampai di Tanah Papua!!!
Bagi sebagian orang, ini hal yang biasa. Tapi bagiku, ini hal yang luar biasa.
Aku merasa, seumur hidupku, aku terlindungi oleh kotak kaca. Aku melihat bahaya dari luar lalu mengomentarinya, tapi aku sendiri belum pernah merasakan bahaya itu. Aku melihat orang-orang yang menderita, dan menangis karenanya, tapi aku sendiri belum pernah bersama mereka merasakan penderitaan itu. Aku bertualang dalam buku-buku yang kubaca, bukan dalam dunia nyata. Aku menghidupi cerita yang berisi peristiwa yang sering kudramatisir, tapi aku sendiri belum mengambil peranku dalam drama kehidupan ini.
Perjalanan ini adalah kesempatanku untuk berkembang dan mendobrak kotak kaca yang aku tinggali selama ini. Merasakan pengalaman berbeda, dan hidup jauh dari lingkungan nyamanku.
Ini bukan suatu perjalanan biasa.
Bagiku ini pencarian jati diri, untuk menguji diriku sendiri, mampukah aku menghidupi kehidupan yang kucita-citakan selama ini, ataukah aku hanya orang kota biasa.
Dimanapun aku berada, Tuhan selalu ada, dan Ia mengambil bagian dalam segala perkara.
Aku tahu aku mengambil keputusan yang tepat untuk pergi, karena aku menyadari Tuhan menyertai dan Ia mempimpin tiap langkahku disini.
Pada waktunya, Ia akan menunjukkan alasan, untuk apa sebenarnya aku datang kesini.